Ini Pahlawanku Siapa Pahlawanmu ?
“Ribuan kilo jalan yang kau tempuh.
Lewati rintang untuk aku, anakmu.
Ibuku sayang masih terus berjalan.
Walau tapak kaki penuh darah penuh nanah.
Seperti udara kasih yang engkau berikan.
Tak mampu ku membalas, ibu…” (Iwan Fals)
Susunan
kata-kata yang menyentuh. Begitulah kutipan sebuah lagu yang berjudul “Ibu”
betapa luar biasanya pengorbanan yang ibu berikan. Tapi kita tidak akan
membahas tentang lagu, kali ini kita akan membahas tentang pahlawan. Siapa
orang yang menurut anda pantas untuk disebut pahlawan? Soeharto? Soekarno?
Sultan Al-Kadrie? Atau presiden kita sekarang, Jokowi ? Tentu saja, setiap
orang mempunyai pandangan pahlawan yang berbeda. Ada yang menyanjung Ali bin
abi Thalib, Rasulullah, para sahabat dan masih banyak lagi. Tapi mari kita
persempit lagi, jika yang saya sebutkan di atas adalah pahlawan yang memang
kita hormati, tapi coba kita lihat para pahlawan yang ada disekitar kita. Bukan,
saya tidak bermaksud menduakan pengorbanan Nabi Muhammad, perjuangan beliau
sudah tidak dapat dibantah lagi. Luar biasa, bukan hanya pantas dianggap
sebagai pahlawan, tapi sebagai panutan, junjungan dan puji-pujian yang sudah
tidak mampu lagi saya ungkapan.
Sekali
lagi, siapa pahlawan yang sebenarnya ada disekitar anda ? Kalau saya.
Pertama,
Ibu. Kalau saya memanggilnya bukan ibu, tapi emak. Emak saya seseorang yang
tidak banyak berbicara, tapi suka bercerita. Ia tidak pernah mengeluh dan tidak
pernah marah. Sejak saya kecil, saya belum pernah melihat emak saya marah yang
teramat sangat. Seperti ibu-ibu yang biasanya cerewet dan galak, emak saya
tidak seperti itu. Kalau marah, ia hanya berbicara sekali dan diam. Tapi langsung
terasa sampai ke dalam hati. Melihat wajahnya murung saja, sudah tak tega. Sifat
itulah yang dicintai bapak saya. Bapak saya adalah pahlawan kedua setelah emak.
Kebalikannya, bapak sangat banyak bicara. Lebih banyak menasehati dan terlihat
sedikit galak. Maklum, profesinya guru. Bapak dan emak memiliki kepribadian
yang berbeda tapi saling menutupi. Banyak sekali cerita yang sering bapak
berikan saat sedang makan bersama. Misalnya dulu saat bapak marah-marah, emak
hanya diam dan menunduk.
“Kalau
saja waktu itu emak mu ini malah ngelawan, mungkin bapak makin meledak dan bisa
hancur rumah tangga kita. Tapi lihatlah, emakmu ini orangnya sabar. Begitu
seharusnya kalian mencari pasangan hidup nanti. Cari yang kalian butuhkan, cari
yang bisa menutupi kekurangan kalian.” Atau “Emakmu ini simbol air, nah bapak
kalian ini simbol api, bisa padam dengan air.” Bukan, kami bukan keluarga
Avatar, tapi memang itulah yang sering bapak ucapkan.
Perjuangan
kedua orang tua saya sangat luar biasa. Dulu, saat saya masih berusia sekian
bulan, emak saya sudah ditinggalkan bapak karena bertugas. Emak sendiri yang
menemani saya, di desa yang sepi penduduk. Pernah juga bapak saya cerita, dulu
bapak saya diberikan amanah untuk menempati sebuah rumah. Rumahnya besar,
terbuat dari kayu jati. Disekitarnya terdapat semak-semak, karena memang sudah
lama tidak ditempati. Kami pun menetap di sana. Saat itu saya baru berusia
sekitar satu tahunan. Malam-malam pertama tidak ada yang aneh. Kata emak saya,
rumah itu lumayan seram. Tidak hanya seram dalam artian mistis, tapi terkadang
banyak hewan berbisa yang masuk. Misalnya saat di dapur, sering ada
kalajengking yang merayap. Atau beberapa ular. Tapi anehnya, mereka hanya
berjalan-jalan, tidak mengganggu. Jadi saat itu dibiarkan saja.
Hal
aneh lainnya, rumah itu tidak mempunyai WC. Kalau mau mandi, mungkin orang yang
punya rumah berjalan menuju ke sungai. Kalau di daerah hulu, rumah tidak
mempunyai WC itu biasa. Tapi untuk rumah yang termasuk besar, itu hal yang
aneh.
Minggu
pertama kami tinggal, beberapa penduduk memuji bapak saya. “hebat Bapak ya bisa
tinggal di rumah itu.”kata mereka. Atau terkadang malah ada yang berlebihan.
Pernah ada seseorang datang pada bapak untuk minta diajarkan ilmu. Bapak pun
heran, karena memang ia tidak mempunyai ilmu apapun. Bapak hanya perantau saat
itu. Situasi dan kondisi yang dihadapi pun masih cukup asing. Usut punya usut,
ternyata rumah itu memang sudah terkenal angker. Sering ada orang yang
ditawarkan oleh pemilik rumah untuk menempatinya seperti bapak saya, tapi tidak
pernah bertahan. Bapak pun mulai curiga. Laporan-laporan lain pun berdatangan.
“Pak,
saya tau kalian masih muda. Kalau ada persoalan, selesaikan baik-baik. Kasihan
anak kalian kan masih kecil.” Kata salah satu tetangga menasehati bapak saya.
“Iya
Pak.”
“Kalau
ada masalah, cerita saja, mungkin saya bisa bantu, jadi kejadian semalam kan
tidak terulang lagi.”
“Semalam?”
“Iya,
maaf, bukan maksud saya mencampuri urusan keluarga bapak, tapi suara bapak
dengan istri bapak terdengar sampai ke rumah kami.”
“Lho,
semalam saya baik-baik saja Pak.” Lalu tetangga itu terkejut. Rupanya hampir
setiap malam, tetangga sering mendengar suara seperti orang yang sedang
berkelahi dari dalam rumah kami. Mereka kira itu adalah bapak dan emak, padahal
sama sekali tidak pernah. Bapak pun semakin heran. Tetangga juga sering
mendengar seperti ada orang yang sedang mencuci piring tengah malam.
Puncaknya
terjadi. Pada suatu malam, saya menangis sangat kuat. Digendong dan ditimang
sedemikian rupa, tetap saja tidak berhenti menangis. Malah hampir habis suara
saya. Akhirnya bapak pun membaca beberapa ayat al-quran dan tangisan saya pun
reda. Malam besoknya terulang lagi. Kemudian malam besoknya lagi, terus
terulang. Emak pun sering memimpikan hal-hal yang buruk.
Hingga
suatu malam, saya menangis lagi seperti malam-malam sebelumnya. Bapak pun
menggendong saya dan membaca ayat-ayat al-quran. Setelah itu, saya ditaruh di
teras depan, dibiarkan menangis sendiri. Lalu bapak berkata “Kalau mau keluar
silahkan keluar. Saya tantang kalian! Ambillah apa yang kalian mau! Lalu pergi,
jangan ganggu keluarga kami lagi!” setelah beberapa saat, saya pun berhenti
berteriak-teriak, hanya menangis kecil. Dan itu adalah malam terakhir kami ‘diganggu’
oleh ‘penghuni asli’ rumah itu. Seterusnya, bapak saya kembali ke kampung
halaman kami di Putussibau, karena pekerjaan mengajarnya di kampung itu telah
selesai. Sekarang, rumah itu telah aman dan dihuni, bakhan telah direnovasi.
Itu
hanyalah bagian kecil dari kepahlawanan kedua orang tua saya. Perjuangannya,
pengorbanannya dan kasih sayangnya. Yang ketiga adalah nenek. Nenek lah yang
menjadi pihak ketiga setelah perhatian bapak dan emak hilang. Maksudnya, kalau
saya waktu kecil dimarah oleh bapak dan emak, neneklah yang menjadi tempat
singgah.
Itulah,
cerita kecil tentang kedua orang tua saya. Karena menurut saya, tidak ada orang
lain dalam hidup saya yang menjadi sosok pahlawan. Ada banyak memang, misalnya
guru-guru sekolah, guru ngaji, teman-teman saya, tukang bersih-bersih, keluarga
saya, dan orang yang pernah hadir dalam hidup saya tapi yang paling utama
adalah bapak dan emak. Karena mereka memberikan saya cerita dan memberikan saya
pelajaran tentang hidup. Bahwa hidup itu tidak akan pernah bisa dijalani
sendiri, dan kita memang tidak pernah sendiri.
Lalu,
siapakah sosok pahlawan dalam hidup anda ?
Cakep, saya suka gaya tulisanmu :)
ReplyDeleteTengkyu~ saya juga suka kamu, eh tulisanmu :p
ReplyDelete