', woeid: '', unit: 'f', success: function(weather) { html = '
  • '+weather.city+', '+weather.country+' '+weather.temp+'°'+weather.units.temp+'
  • '; $("#weather").html(html); }, error: function(error) { $("#weather").html('

    '+error+'

    '); } }); }); //]]>

    Header Ads

    Breaking News
    recent

    Terjebak Jebakan Sendiri




    Saya akan menuliskan untuk anda, betapa kita rugi kalau tidak menulis. Dan mungkin bagi anda yang menghayati tulisan ini, anda akan merasa merinding. Bagaimana sudah merinding? Oh belum, baiklah, lanjutkan membaca.
    Menulis itu apa sih? Menggoreskan pena di atas kertas? Bisa jadi.
    Merangkai kata berjuta makna? Wah, ya ya! Kalau kata sahabat saya, Sukardi, “menulis adalah rasa, bersama hati, memantapkan jiwa serta melancarkan pikiran”.
    Menurut saya, menulis itu sejenis ritual penuangan bisikan hati ke dalam bentuk tulisan, hehe. Jadi sederhananya, apa yang kita ucapkan, baik keluar, maupun yang terpendam di hati, lalu menuangkannya dalam bentuk ABC, (dalam bentuk tulisan) nah, itulah menulis.
    Nah, kapan kita harus menulis, kata Pak Yusriadi, kapan saja, dimana saja, dan apa saja. Jadi menulis adalah kebutuhan setiap orang. Karena setiap profesi pasti berkaitan dengan hal tulis menulis. Selama ini kita terjebak dengan bidang penulisan ini. Menulis adalah sebuah profesi, dan yang mengalaminya disebut dengan penulis, padahal, menulis adalah kegiatan yang ada pada setiap profesi.
    Presiden, menteri, pejabat, guru, kepala sekolah, siswa, mahasiswa, bahkan penjual yang berada di pasar sekalipun pasti menulis. Tukang gali kubur pun menulis, setidaknya ia menulis nama, tanggal lahir dan tanggal wafat pada batu nisan, hehe.
    Tapi, tidak semua yang menulis itu adalah penulis. Karena penulis itu adalah orang yang menulis tiap hari. Bukan hanya menulis karena suka. Jangan berkecil hati bagi anda, dan saya yang belum bisa menulis tiap hari. Bukan berarti kita bukan penulis, tetapi kita belum mau menjadi penulis. Padahal, setiap orang bisa menjadi penulis. Anda mulai bingung? Lanjutkan saja membaca.
    Melalui Pak Yusriadi juga saya menyadari, bahwa memang menulis itu (seharusnya) bukan karena hobi dan keinginan, tapi memang kebutuhan. Misalnya saat saya di ajar Pak Yusriadi dulu, beliau pernah bertanya pada setiap Mahasiswa di kelas. “Apa makanan yang paling kalian suka ?” dan jawaban mereka ada bermacam-macam. Saya melihat raut wajah Pak Yusriadi yang terkadang tersenyum aneh mendengar jawaban teman-teman saya. Dan pada saat saya yang ditanyai, saya menjawab “makanan yang halal Pak” kemudian beliau tersenyum, mungkin jawaban ini yang ia harapkan.
    Setelah itu bapak pun menjelaskan, bahwa saat seseorang sudah berusia tujuh belas tahun ke atas, tidak ada yang namanya makanan favorit, dan tidak ada yang namanya hobi. Karena semua dilakukan atas dasar kebutuhan, bukan karena suka atau hobi. ‘betul juga’ kata saya dalam hati. Misalnya saja kita yang mempunyai hobi bersepeda, lalu ada teman kita yang mengajak kita bermotor, apa kita akan menolak dengan alasan bermotor bukan hobi kita? Tentu tidak kan? (Yang membaca mengangguk-angguk saja). Dan kemudian tersenyum. Lalu menyangka penulis adalah dukun, yang bisa tau perasaan pembaca yang mulai agak kesal.
    Nah, kemudian saat makanan favorit kita bakso, misalnya. Apakah kita akan menolak ayam bakar yang dilumuri dengan bumbu kecap dan mentega di atasnya yang masih meleleh-leleh, kemudian di atasnya ada asap tipis, dengan nasi putih, sambal tomat dan teh es manis, dan gratis, semuanya akan kita tolak karena itu bukan makanan favorit kita? Itu hanyalah merampot semata. Nah, sama dengan menulis tadi, hal itu bukanlah hobi, tetapi kebutuhan. Sekali lagi, ingat poin pertama, menulis itu, kebutuhan.
    Pernah suatu hari saya mencari barang. Anggap saja mencari buku. Setelah dengan berpeluh-peluh membongkar kamar saya yang penuh dengan barang, tiba-tiba mata saya tertuju pada sesuatu. Saya mengambil, membukanya kemudian membacanya. Bersamaan dengan itu juga sesungging senyuman terpahat di bibir saya. Itu buku harian saya, setelah saya baca kembali, saya seakan tidak percaya, ‘apa benar saya pernah menulis hal ini dulu?’ rasanya tidak percaya. Ternyata, saya bisa menulis dan saya bisa terhibur dengan tulisan saya itu. Lembar demi lembar saya buka, hingga akhirnya saya menemukan sebuah kutipan dari dosen bahasa Indonesia saya, Pak Yusriadi. Sebuah kutipan yang dapat memberikan pukulan dan semangat secara bersamaan saat orang membacanya. Tentang rasa syukur yang seharusnya kita amalkan dengan menulis. Dan saya pun seperti telah melakukan dosa, karena bentuk syukur itu sudah cukup lama saya nomor-dua-kan.
    Sama seperti saya menulis tulisan ini, saat ini saya merasa sedih. Dan poin dua yang saya temukan adalah tenyata memang menulis itu adalah bentuk ungkapan rasa syukur pada Yang Maha Kuasa. Karena telah diberikan nikmat berupa akal, tangan yang masih dapat digerakkan, dan fasilitas pendukung. Oh, iya, satu lagi kenikmatan yang penting, yaitu pengalaman hidup. Karena menulis itu tentu tak jauh dari pengalaman hidup. Nah, kalau sudah meninggal, apa yang dapat kita tulis.? Hayo, sudah mulai merinding belum? Kalau belum merasa merinding, cobalah pindah ke tempat yang gelap dan sunyi, disana anda akan menemukan beberapa pasangan sedang memadu kasih, bagi anda yang jomblo, anda akan merinding melihatnya, hehe.
    Hal ini menunjukan betapa banyak orang-orang yang terjebak pada pengertian menulis, termasuk saya. Dulu saya menulis karena ingin menulis. Atau karena saya sedang pengen menulis, hehe sama ya? Tapi sekarang saya masih belajar. Mencoba benar-benar menjadikan menulis itu sebagai kebutuhan. Misalnya saat seorang lelaki mengatakan ‘aku butuh kamu’ kepada seorang wanita, seharusnya ia benar-benar menerapkan kalimat gampang itu pada wanitanya. Sama dengan tulisan saya.
    Oke, poin ketiga, bahwa dibalik sebagai ungkapan rasa syukur kita, tulisan adalah juga sarana kita untuk beramal. Kalaulah kita meninggal, tapi kita mempunyai tulisan, dan kemudian orang baca dan mengamalkannya, tentu saja manfaat dan amalan itu akan menjadi buah pada diri kita. Selain itu kita juga dapat memaknai kehidupan. Saya pernah membaca bukunya Edi Akhiles, katanya “hidup itu akan berarti jika kita dapat memberikan manfaat pada orang lain”, nah maka dengan tulisan, hidup kita akan berarti.
    Bagaimana dengan orang-orang yang terjebak pada saat ingin menulis. Dan pertanyaan besar yang sering muncul adalah berkaitan dengan, APA, yang harus saya tulis. Saat saya mengikuti tes wawancara di Club Menulis, kata pewawancara saya saat itu, Kak Suma, menulis itu dari hal-hal yang sederhana. Misalnya kehidupan harian kita, hal yang kita alami hari ini, kemarin atau rencana kita besok. Jadi menulis itu sebenarnya tidak perlu menunggu inspirasi atau ilham.
    Saya juga pernah berjalan-jalan di dunia maya, Facebook, saya membaca sebuah kutipan pendek yang luar biasa, katanya "Tulislah sesuatu yang layak dibaca atau lakukan sesuatu yang layak untuk dituliskan", Benjamin Franklin, waah, artinya dalam setiap proses menulis yang sering kita lakukan, kita akan menemukan jalan buntu yang sebenarnya kita buat sendiri tentang apa yang harus kita tulis, dan petunjuknya dapat kita ambil dari kutipan Om Benjamin di atas.
    Bahkan, saat kita benar-benar merasa buntu dan tak tau harus menulis apa, itu pun bisa menjadi tulisan. ‘saya bingung mau nulis apa’ dan kemukakan kenapa anda bingung. Secara tidak sadar, kita sudah menulis.
    Bagaimana? Masih terjebak? Sudah banyak poin yang kita temukan bersama kan? Mungkin ada poin lain yang terlewatkan, nah saatnya beraksi. Tulislah poin yang terlewatkan oleh saya itu. Secara tidak sadar, kita telah menulis, lagi. Nah, mudah kan? Kalau masih terjebak juga, itu tak lain tak bukan, pasti jebakan yang kita buat sendiri. Saya sendiri sering berceramah pada teman saya, ‘jangan mempersulit sesuatu yang mudah.’
    “Teori itu mudah, prakteknya susah” nah, kan sudah banyak teori yang beredar di pasaran. Di majalah, internet, ucapan para penulis hebat dan beribu tips-tips cara menulis yang baik dan benar. Tinggal tangan yang mau atau tidak bergerak. Selama akal masih ada, selama jantung masih berdetak, selama sungai kapuas masih mengalir, dan selama nyawa masih di badan, selama itu juga kita bisa memulai. Saya sendiri tidak sadar, dari tadi sudah menulis rupanya, hehe.
    Kesimpulannya, menulis adalah menulis. Lakukan sekarang!

    No comments:

    Powered by Blogger.